Kesalahan Data Bank Kalsel: Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan Diuntungkan, Pemerintah Kota Banjarbaru Menanggung Reputasi

waktu baca 8 menit
Selasa, 28 Okt 2025 02:00 366 Banjarbaru Emas 2

BANJARBARUEMAS.COM – Kekeliruan administratif yang dilakukan Bank Kalsel telah menjadi salah satu kasus paling menarik dalam sejarah pelaporan fiskal daerah Kalimantan Selatan. Sebuah kesalahan dalam kode wilayah pada laporan keuangan bank daerah mampu mengguncang kepercayaan publik terhadap tata kelola keuangan pemerintah daerah, khususnya Pemerintah Kota Banjarbaru. Dalam laporan resmi Kementerian Keuangan yang dibacakan oleh Menkeu Purbaya Yudhi Sadewa pada 20 Oktober 2025, disebutkan adanya dana mengendap sebesar Rp5,165 triliun atas nama Pemerintah Kota Banjarbaru — angka fantastis yang langsung menimbulkan kehebohan nasional.

Namun, hanya dalam hitungan hari, fakta di lapangan berbicara lain. Melalui dua rilis resmi, Bank Kalsel akhirnya mengakui bahwa data tersebut salah input. Dana triliunan rupiah itu sejatinya adalah milik Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan, bukan Banjarbaru. Kesalahan terjadi karena pengisian kode wilayah dan sandi golongan pihak lawan (GPL) yang tertukar antara level provinsi dan kota.

Kesalahan yang tampak sederhana ini sesungguhnya membuka ruang refleksi mendalam: apakah ini murni human error, atau cerminan kelemahan sistem dan tata kelola data perbankan daerah yang selama ini belum matang?

Kementerian Keuangan pada akhir Oktober 2025 tengah menggelar rapat nasional bersama Kemendagri dan Bank Indonesia untuk membahas kinerja realisasi APBD hingga kuartal III. Dalam laporan yang dibacakan Deputi Menkeu Purbaya Yudhi Sadewa, sejumlah daerah dinilai lambat menyerap anggaran sehingga dana pemerintah daerah menumpuk besar-besaran di perbankan. Salah satu yang disebut secara eksplisit adalah Kota Banjarbaru, dengan saldo mengendap mencapai Rp5,165 triliun.

Angka itu menimbulkan kejutan luar biasa. Pasalnya, total APBD Banjarbaru tahun 2025 hanya sekitar Rp1,3 triliun. Maka ketika laporan resmi menyebut dana mengendap empat kali lipat dari total APBD, publik segera mempertanyakan integritas pengelolaan fiskal di daerah ini. Di media sosial, narasi “Banjarbaru simpan uang triliunan di bank” bergulir cepat, menimbulkan persepsi keliru bahwa pemerintah kota lamban dan tidak efektif.

Wali Kota Banjarbaru Hj. Erna Lisa Halaby langsung mengambil langkah cepat: memerintahkan BPKAD melakukan klarifikasi lintas lembaga, melibatkan Kementerian Keuangan, Kemendagri, Bank Indonesia, dan Bank Kalsel. Dalam waktu 72 jam, fakta terbongkar: dana triliunan itu bukan milik Banjarbaru. Bank Kalsel mengakui terjadi kekeliruan dalam pelaporan kode wilayah pada sistem Antasena.

Untuk memahami kedalaman kesalahan ini, kita perlu meninjau cara kerja Sistem Antasena, yaitu platform pelaporan bank kepada otoritas moneter yang dikembangkan Bank Indonesia. Antasena dirancang sebagai sistem berbasis data mart — gudang data yang mengintegrasikan laporan keuangan dari berbagai sumber (LBU, LHBU, LKPBU, LBUT-KI) ke dalam satu sistem terstandar.

Antasena menggabungkan fitur otomatisasi, real-time validation, serta cross-check logic yang meminimalkan kemungkinan kesalahan entri. Setiap kode wilayah dan jenis nasabah memiliki pola logika unik; misalnya, kode untuk Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan adalah S131301L, sementara kode untuk Pemerintah Kota Banjarbaru adalah S131302L.

Artinya, secara teknis, sistem Antasena seharusnya tidak memungkinkan perbedaan kode sebesar itu tanpa flag warning. Dalam terminologi audit data, kesalahan ini termasuk kategori gross miscoding, yaitu kesalahan klasifikasi yang lolos dari mekanisme validasi otomatis.

Pertanyaan mendasarnya kemudian adalah: bagaimana mungkin sistem yang begitu presisi gagal mendeteksi anomali data sebesar Rp4,7 triliun? Jawabannya mengarah pada dua kemungkinan: pertama, pengawasan internal bank yang lemah, dan kedua, penggunaan sistem Antasena yang tidak optimal akibat kurangnya pelatihan dan kontrol manusia.

Bank Kalsel dalam rilis resminya menggunakan istilah “kekeliruan teknis dalam penginputan data”. Istilah ini terdengar lunak, bahkan terlalu lunak, untuk menggambarkan dampak yang ditimbulkan. Dalam terminologi tata kelola publik, kesalahan seperti ini disebut kelalaian institusional (institutional negligence), karena tidak cukup dijelaskan hanya sebagai human error.

Human error adalah bagian dari sistem — bukan penyimpangan dari sistem. Oleh karena itu, sistem harus dibangun dengan prinsip error-proofing atau fail-safe design. Bila kesalahan manusia masih bisa lolos ke tahap pelaporan nasional, maka sistemnya gagal dalam fungsi pencegahan.

Dalam konteks ini, kelalaian Bank Kalsel bukan hanya pada proses entri data, tetapi pada seluruh rantai tata kelola data:

  • Tidak ada maker-checker efektif yang memastikan kode wilayah sesuai standar.
  • Tidak ada sistem review audit trail sebelum laporan dikirim ke Bank Indonesia.
  • Tidak ada mekanisme pembacaan anomali nominal (karena nilai yang dilaporkan mencapai triliunan, jauh di atas rata-rata saldo daerah).

Kegagalan berlapis inilah yang membuat kesalahan administratif kecil berubah menjadi reputational crisis di tingkat nasional.

Yang menarik, dari seluruh kekisruhan ini, Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan justru menjadi pihak yang secara tidak langsung diuntungkan.

Pertama, dana Rp4,7 triliun yang sesungguhnya milik provinsi itu tersembunyi di balik nama Banjarbaru selama beberapa waktu. Artinya, ketika data itu dibacakan di forum nasional, yang tampak “menyimpan uang besar” bukan Pemprov, melainkan Pemkot Banjarbaru. Secara reputasional, sorotan publik tertuju kepada kota, bukan provinsi.

Kedua, laporan tersebut seolah menampilkan Pemprov Kalimantan Selatan dalam posisi “bersih” dari tudingan lambat membelanjakan dana. Padahal, bila data itu tercatat sesuai kode aslinya, maka kinerja fiskal Pemprov justru yang akan menjadi perhatian utama Kementerian Keuangan. Dengan kata lain, Banjarbaru menanggung reputasi negatif, sementara provinsi terselamatkan dari sorotan publik nasional.

Ketiga, secara politis, kesalahan ini menciptakan asimetri informasi antara pemerintah kota dan provinsi. Publik sempat menilai bahwa dana besar di Banjarbaru adalah bukti kota ini “berlebihan menyimpan kas” di bank daerah. Padahal uang itu, secara legal dan administratif, adalah milik provinsi.

Fenomena ini menunjukkan bagaimana kesalahan administratif yang tampak teknis ternyata memiliki dimensi politis dan reputasional yang sangat kuat. Dalam konteks manajemen keuangan publik, ini menjadi peringatan bahwa ketidaktepatan data dapat memindahkan persepsi kinerja antarlevel pemerintahan.

Bagi Pemerintah Kota Banjarbaru, dampak reputasional dari kesalahan ini sangat besar. Dalam era keterbukaan fiskal, persepsi publik menjadi aset sekaligus risiko. Masyarakat kini menilai kinerja fiskal daerah bukan hanya dari APBD, tetapi juga dari efisiensi penyerapan anggaran dan transparansi data.

Ketika nama Banjarbaru muncul dalam laporan Menkeu, muncul kesan seolah pemerintah kota menahan dana publik dalam jumlah besar. Padahal, justru Banjarbaru termasuk daerah dengan realisasi belanja tertinggi di Kalimantan Selatan. Kesalahan pelaporan Bank Kalsel akhirnya memaksa Banjarbaru melakukan klarifikasi besar-besaran hingga ke tingkat nasional, menyita energi birokrasi dan waktu pengambilan kebijakan yang seharusnya difokuskan untuk pelayanan publik.

Dampak lainnya bersifat psikologis dan institusional. Dalam ekosistem fiskal daerah, hubungan kepercayaan antara pemerintah daerah, bank daerah, dan otoritas pusat sangat krusial. Sekali kepercayaan itu terganggu, akan sulit memulihkannya. Tidak mengherankan jika Pemerintah Kota Banjarbaru kini meninjau ulang protokol kerja sama data dengan Bank Kalsel, terutama terkait pengawasan real-time monitoring rekening kas umum daerah.

Dalam kajian sistem informasi keuangan publik, sistem seperti Antasena menempati posisi vital dalam menjaga konsistensi data lintas lembaga. Ia tidak sekadar alat pelaporan, melainkan instrumen kebijakan fiskal nasional. Oleh sebab itu, kegagalan di tingkat teknis tidak bisa dianggap remeh.

Sistem ini dibangun dengan logika data integrity, yakni memastikan setiap data yang masuk sesuai konteks (validitas isi) dan lokasi (validitas kode). Dalam kasus Bank Kalsel, kesalahan terjadi pada referential integrity — yaitu hubungan antarentitas data (antara kode wilayah dan identitas nasabah pemerintah daerah).

Dalam pendekatan data governance, setiap lembaga keuangan diwajibkan memiliki unit kontrol mutu data (Data Quality Management Unit) yang bertugas melakukan audit sebelum pengiriman laporan. Fakta bahwa kesalahan sebesar ini lolos dari tahap tersebut menunjukkan bahwa unit semacam itu di Bank Kalsel belum berfungsi optimal.

Di sisi lain, fenomena ini mengingatkan bahwa digitalisasi sistem keuangan publik bukan hanya soal teknologi, tetapi juga soal kapasitas manusia yang mengoperasikannya. Tanpa literasi digital fiskal yang memadai, sistem secanggih apa pun akan rentan terhadap kesalahan elementer.

kasus ini memunculkan tiga pelajaran besar:

Pertama, pentingnya transparansi dan akuntabilitas data fiskal.
Data bukan sekadar angka, tetapi wajah kepercayaan publik terhadap pemerintah. Kesalahan sekecil apa pun dapat berdampak besar terhadap citra dan legitimasi birokrasi. Dalam konteks fiskal daerah, keakuratan laporan bank menjadi basis bagi penilaian kinerja keuangan pemerintah daerah oleh pusat.

Kedua, perlunya penguatan sistem audit dan kontrol internal bank daerah.
Bank daerah sering kali berperan ganda: lembaga keuangan sekaligus mitra penyimpanan kas daerah. Karena itu, tanggung jawab moral dan administratif mereka jauh lebih besar daripada bank komersial biasa. Fungsi compliance dan data validation harus ditingkatkan, termasuk audit rutin atas pelaporan keuangan digital.

Ketiga, peningkatan literasi fiskal digital di tingkat daerah.
Pemerintah daerah perlu memahami arsitektur data keuangan mereka, bukan sekadar menerima laporan dari bank. Ini penting agar kesalahan seperti salah input dapat dideteksi lebih awal oleh pengguna data, bukan hanya oleh pembuat laporan.

Pada akhirnya, kesalahan Bank Kalsel bukan sekadar persoalan teknis, tetapi juga ujian integritas. Di tengah upaya nasional membangun ekosistem fiskal yang transparan dan berbasis data, kejujuran dan ketelitian menjadi nilai moral yang tak tergantikan.

Kita boleh memaafkan kesalahan manusia, tetapi tidak bisa menoleransi sistem yang membiarkan kesalahan manusia terus berulang tanpa koreksi mendasar. Klarifikasi Bank Kalsel adalah langkah awal yang baik, tetapi publik berhak menuntut lebih: audit internal yang terbuka, pembenahan mekanisme kontrol data, dan penguatan budaya data ethics di seluruh lini.

Karena di era digital, kepercayaan publik dibangun melalui angka-angka yang benar dan bisa dipertanggungjawabkan.

Dan dalam kasus ini, Banjarbaru telah membayar mahal untuk sebuah kesalahan yang seharusnya tidak terjadi — sebuah pelajaran pahit bahwa di balik satu digit yang salah, bisa tersembunyi krisis kepercayaan seluruh daerah.

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

LAINNYA