Kepemimpinan yang Mendengar: Jalan Baru Birokrasi Banjarbaru dari Forum Rakor Pimpinan SKPD

waktu baca 4 menit
Senin, 3 Nov 2025 05:11 144 Banjarbaru Emas 2

BANJARBARUEMAS.COM – Problem terbesar seorang pemimpin sering kali bukan terletak pada kurangnya kemampuan berbicara atau membuat keputusan, melainkan pada kapasitas untuk mendengar, berdialog, dan berimajinasi — tiga kemampuan yang berakar dari empati terhadap rakyat. Pemimpin yang baik tidak hanya memerintah, tetapi juga merasakan denyut kehidupan masyarakat yang dipimpinnya. Dari sinilah muncul legitimasi moral: bahwa kekuasaan tidak hanya diukur dari kewenangan, tetapi dari kepercayaan yang dibangun melalui pendengaran yang tulus.

Gagasan inilah yang kini menjadi napas kepemimpinan Wali Kota Banjarbaru Hj. Erna Lisa Halaby. Dalam pandangannya, memimpin kota bukan sekadar soal menegakkan aturan dan mengelola anggaran, tetapi soal merawat kepercayaan dan menghadirkan kehangatan di tengah birokrasi. Usai melantik dua belas Pejabat Pimpinan Tinggi Pratama di lingkungan Pemerintah Kota Banjarbaru, Lisa langsung memimpin Rapat Koordinasi (Rakor) Pimpinan SKPD di Aula Gawi Sabarataan, Senin (3/11/2025).

Rakor tersebut merupakan forum strategis yang menandai arah baru tata kelola pemerintahan Banjarbaru: responsif, berbasis data, dan berorientasi hasil. Lisa menegaskan bahwa koordinasi antarlembaga merupakan instrumen utama dalam mewujudkan efektivitas birokrasi. Ia menolak pandangan sempit bahwa keberhasilan hanya bisa diukur melalui serapan anggaran. Ukuran yang sesungguhnya, kata Lisa, adalah kemampuan pemerintah menjawab kebutuhan publik dengan cepat, tepat, dan terukur.

“Kita sudah memasuki bulan November. Saya ingin data yang jelas — mana yang sudah ditindaklanjuti, mana yang belum. Jangan ada yang menggantung,” tegasnya. Ucapan ini bentuk refleksi atas filosofi pemerintahan yang menekankan kejelasan dan pertanggungjawaban di setiap lini kerja.

Lisa meminta agar setiap SKPD menata ulang sistem pelaporan mereka berbasis bukti dan hasil (evidence-based reporting). Ia percaya bahwa kebijakan publik yang berintegritas hanya lahir dari data yang valid dan terverifikasi. Dengan sistem informasi yang rapi, pemerintah dapat mengukur capaian dengan objektif dan memastikan setiap rupiah anggaran memberikan manfaat bagi masyarakat.

Di titik inilah tampak karakter kepemimpinan Lisa yang menggabungkan rasionalitas teknokratis dengan empati sosial. Ia ingin Banjarbaru menjadi model pemerintahan yang tidak hanya efisien, tetapi juga punya hati. Bagi Lisa, angka dan laporan tidak boleh mematikan nurani pelayanan. Pemerintahan yang baik, katanya, adalah yang mampu menyeimbangkan logika sistem dengan etika kemanusiaan.

Lebih jauh, Lisa menekankan pentingnya governance communication — komunikasi pemerintahan yang partisipatif, transparan, dan berlandaskan empati. Ia menyadari bahwa tantangan pemerintahan masa kini bukan hanya menyusun kebijakan yang tepat, tetapi juga memastikan kebijakan itu dipahami dan diterima publik. “Ulun minta isu-isu yang lagi ramai di Banjarbaru agar dikawal prosesnya. Pemerintah harus hadir, bukan hanya dalam kebijakan, tapi juga dalam komunikasi publik yang menenangkan,” ujarnya.

Bagi Lisa, komunikasi publik bukan sekadar penyampaian informasi, tetapi bentuk kepedulian sosial. Pemerintah yang baik tidak hanya menjelaskan apa yang dilakukan, tetapi juga mendengarkan apa yang dikeluhkan. Dengan pola komunikasi yang terbuka, warga merasa dihargai, dan pemerintah memperoleh legitimasi moral untuk bertindak.

Pendekatan ini memperlihatkan model kepemimpinan transformasional-humanis. Lisa tidak hanya memperkuat disiplin birokrasi melalui data, tetapi juga menghidupkan kembali rasa empati di dalam tubuh pemerintahan. Ia menanamkan nilai bahwa pejabat publik bukan sekadar pelaksana anggaran, melainkan pelayan masyarakat. Dalam setiap arahannya, ia mendorong pejabatnya untuk turun langsung, mendengar keluhan warga, dan memahami masalah di lapangan sebelum menyusun solusi.

Rakor November 2025 juga dimanfaatkan sebagai forum evaluasi lintas sektor. Lisa meminta setiap kepala SKPD menyusun achievement map (peta capaian) dan action plan percepatan hingga akhir Desember. Pendekatan ini memperkuat tata kelola berbasis performance management, di mana hasil (output dan outcome) menjadi ukuran utama keberhasilan. Dengan demikian, kebijakan tidak berhenti pada dokumen, tetapi diwujudkan dalam perubahan nyata di masyarakat.

Dalam kerangka besar visi “Banjarbaru Emas” — Elok, Maju, Adil, Sejahtera — Wali Kota Lisa menegaskan bahwa tahun 2025 harus menjadi momentum konsolidasi tata kelola pemerintahan yang efisien, transparan, dan berdaya hasil. Ia mengarahkan setiap SKPD untuk tidak bekerja secara sektoral, tetapi membangun sinergi lintas bidang, mengintegrasikan sistem data, serta memperkuat koordinasi hingga ke tingkat pelayanan paling dasar. Bagi Lisa, birokrasi yang cepat dan terhubung bukan sekadar efisien di atas kertas, melainkan cermin pemerintahan yang benar-benar hadir dan memahami denyut kehidupan warganya.

Jika pola kepemimpinan yang menekankan data, dialog, dan empati ini terus dijaga, Banjarbaru berpeluang besar menjadi model tata kelola daerah di Kalimantan Selatan — kota yang tumbuh dengan akal sehat pemerintahan dan berakar pada rasa kemanusiaan publiknya. Banjarbaru sedang menapaki fase kematangannya, di mana pembangunan juga tentang menegakkan nilai-nilai keadilan dan pelayanan yang berkeadaban. Di balik arah perubahan itu, berdiri sosok Wali Kota Hj. Erna Lisa Halaby — pemimpin yang bekerja dengan data, melayani dengan hati, dan mendengar dengan empati.(be)

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

LAINNYA