“Benarkah Banjarbaru Menyimpan Rp5,165 Triliun? Menunggu Hasil Rekonsiliasi Data BI dan Bank Kalsel”

waktu baca 4 menit
Sabtu, 25 Okt 2025 03:38 404 Banjarbaru Emas

Isu dana mengendap pemerintah daerah yang mencuat ke ruang publik pertengahan Oktober 2025 menjadi ujian serius bagi tata kelola keuangan nasional.

Pernyataan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa yang menyebut ada sepuluh daerah dengan dana simpanan sangat besar di perbankan, termasuk Kota Banjarbaru dengan nilai fantastis Rp5,165 triliun, menyulut diskusi hangat.

Angka itu, jika benar, menempatkan Banjarbaru di posisi ketiga secara nasional, di bawah DKI Jakarta dan Jawa Timur. Namun, seperti banyak peristiwa fiskal lainnya, angka besar seringkali menipu persepsi.

Yang menarik, Wali Kota Banjarbaru Hj. Erna Lisa Halaby tidak terjebak dalam arus reaktif politik atau debat terbuka di media sosial.

Ia memilih langkah yang lebih substantif: menginisiasi langsung pertemuan resmi di Jakarta yang melibatkan Kementerian Keuangan, Kementerian Dalam Negeri, Bank Indonesia, dan Bank Kalsel. Rapat penting itu digelar Jumat, 24 Oktober 2025, di Gedung H Lantai 8, Kementerian Dalam Negeri, dan dipimpin oleh Wakil Menteri Dalam Negeri Akhmad Wiyagus bersama Dirjen Bina Keuangan Daerah Dr. A. Fatoni, M.Si.

Di saat banyak kepala daerah lain memilih bersikap reaktif—ada yang buru-buru memberikan pernyataan pembelaan di media sosial, ada pula yang melontarkan klarifikasi terburu-buru di media cetak—hasilnya justru memunculkan keterbelahan opini publik dan memperkeruh persepsi terhadap kredibilitas data keuangan daerah.

Di tengah situasi itu, Wali Kota Hj. Erna Lisa Halaby menempuh jalan berbeda. Ia tidak berdebat di ruang publik, melainkan memimpin langsung proses klarifikasi di meja rapat pusat, melibatkan Kementerian Keuangan, Kementerian Dalam Negeri, Bank Indonesia, dan Bank Kalsel.

Ia memastikan bahwa Kota Banjarbaru tidak hanya menjelaskan, tetapi juga menghadirkan bukti terverifikasi. Padahal, bukan hal yang mudah bagi seorang kepala daerah mengagendakan pertemuan lintas kementerian dalam waktu sesingkat itu.

Hasil penelusuran Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Banjarbaru menunjukkan perbedaan mencolok antara data pusat dan data riil.

Berdasarkan hasil rekonsiliasi bersama Bank Kalsel, per 10 Oktober 2025, posisi kas Pemerintah Kota Banjarbaru hanya sebesar Rp791,25 miliar, bukan Rp5,165 triliun seperti yang disebut dalam rapat nasional.

Angka itu diverifikasi melalui rekening koran resmi dari seluruh bank penyimpan kas daerah, dengan hasil konsisten: tidak ada dana mengendap dalam jumlah triliunan.

Lisa kemudian meminta Bank Kalsel untuk melakukan rekonsiliasi silang dengan Bank Indonesia, agar data yang beredar di pusat dan daerah dapat dipastikan akurat dan dapat dipertanggungjawabkan.

Hingga malam 24 Oktober 2025, Wali Kota Lisa yang masih berada di Jakarta menyampaikan bahwa rekonsiliasi masih berlangsung dan diharapkan sudah selesai sebelum Senin, 27 Oktober 2025.

Langkah cepat ini menjadi bukti bahwa Banjarbaru tidak sekadar bertahan dari isu, tetapi menjadikannya momentum untuk memperbaiki sistem.

Rekonsiliasi sendiri merupakan proses membandingkan dan mencocokkan saldo kas pemerintah daerah menurut pembukuan (buku besar) dengan saldo rekening koran bank penyimpan kas.

Idealnya, proses ini dilakukan setiap bulan untuk memastikan bahwa semua transaksi—baik penerimaan maupun pengeluaran—tercatat secara konsisten. Dalam dunia korporasi, ini adalah best practice yang wajib dilakukan bagian keuangan; sementara di pemerintahan, sayangnya, masih sering bersifat insidental.

Selisih data antara laporan BI dan catatan daerah bukanlah hal baru. Sumbernya bisa berasal dari transaksi belum tercatat, keterlambatan pembukuan, atau kesalahan input data.

Namun, ketika data tersebut digunakan di forum nasional tanpa proses rekonsiliasi menyeluruh, persepsi publik bisa tergiring pada kesimpulan yang keliru: bahwa pemerintah daerah menumpuk dana tanpa dibelanjakan.

Dalam kasus Banjarbaru, Wali Kota Lisa memilih pendekatan berbasis sistem, bukan sekadar klarifikasi verbal. Ia mengubah potensi krisis menjadi momentum perbaikan prosedural, mendorong Bank Kalsel dan Bank Indonesia agar memperkuat mekanisme rekonsiliasi bulanan.

Pelajaran penting dari Banjarbaru adalah bahwa transparansi fiskal tidak lahir dari tekanan, tetapi dari kemauan politik untuk disiplin dalam data.

Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Keuangan sebaiknya menjadikan pengalaman ini sebagai dasar untuk menerbitkan instruksi nasional yang mewajibkan seluruh pemerintah daerah melakukan rekonsiliasi kas setiap bulan, melibatkan pihak independen seperti Inspektorat Daerah.

Langkah tersebut tidak hanya memperkecil risiko selisih data, tetapi juga memperkuat kepercayaan antara pemerintah pusat dan daerah. Sebab dalam ekosistem fiskal yang modern, data adalah pondasi kepercayaan. Tanpa keseragaman data, kebijakan fiskal bisa bias, dan publik mudah salah paham terhadap kinerja daerah.

Banjarbaru hari ini telah memberikan contoh bahwa kepemimpinan yang baik bukan hanya tentang apa yang dikatakan, tetapi apa yang dilakukan saat data diuji. Hj. Erna Lisa Halaby menunjukkan bahwa ketika angka dipersoalkan, jawaban terbaik bukanlah opini, melainkan verifikasi. Dari ruang rapat di Jakarta, Banjarbaru mengirim pesan penting: bahwa akuntabilitas bukan sekadar slogan, tetapi budaya kerja yang bisa menular ke seluruh negeri.

Langkah ini seharusnya menjadi standar baru, bahwa setiap isu fiskal harus dijawab dengan disiplin data, keterbukaan, dan integritas. Dari Banjarbaru, kita belajar bahwa perbedaan catatan jumlah uang negara yang tersimpan bukan selalu bencana; kadang, ia adalah pintu menuju reformasi pengelolaan keuangan negara yang lebih matang.(be)

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

LAINNYA