Banjarbaru Semester II 2025: APBD, 100 Hari Kerja, dan Konsolidasi Kepemimpinan

waktu baca 4 menit
Jumat, 3 Okt 2025 05:23 132 Banjarbaru Emas

BANJARBARUEMAS.COM – Memasuki penghujung September 2025, Kota Banjarbaru berdiri di titik persimpangan penting. Data Sistem Informasi Keuangan Daerah (SIKD) per 21 September 2025 menunjukkan realisasi pendapatan sebesar Rp961,76 miliar atau 64,71 persen dari target Rp1,48 triliun. Angka ini, secara kasat mata, memberi sinyal optimisme: mesin fiskal Banjarbaru berjalan relatif baik, meski kepemimpinan Wali Kota Hj. Erna Lisa Halaby baru efektif sejak pelantikan pada 21 Juni 2025, menjelang penutupan semester pertama.

Pendapatan Asli Daerah (PAD) masih menjadi pekerjaan rumah. Dari target Rp431,05 miliar, baru terealisasi Rp142,67 miliar atau 33,10 persen. Pajak daerah cukup solid di angka 44,66 persen, tetapi retribusi baru 22,89 persen, dan Lain-lain PAD yang Sah hanya 4,21 persen. Hanya hasil pengelolaan kekayaan daerah yang hampir mencapai target (91,35 persen). Fakta ini memperlihatkan rapuhnya basis fiskal daerah, karena masih sangat bergantung pada dana transfer dari pusat.

Di sisi lain, Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD) tetap menjadi penopang utama, dengan capaian Rp663,22 miliar atau 68,65 persen. Ada anomali menarik: pendapatan transfer antar daerah bahkan melampaui target hingga 165,62 persen. Kondisi ini mengingatkan bahwa Banjarbaru masih harus serius menata strategi kemandirian fiskalnya.

Belanja daerah pun menunjukkan wajah yang ganda. Dari total Rp1,61 triliun, baru terserap Rp731,59 miliar atau 45,34 persen. Belanja pegawai mencapai 66,22 persen, menunjukkan birokrasi tetap berfungsi. Namun belanja modal — indikator pembangunan nyata — baru 29,42 persen. Belanja sosial lebih rendah lagi: bantuan sosial 9,55 persen, hibah 40,29 persen, dan belanja tidak terduga hanya 3,27 persen. Artinya, ke depan Pemkot perlu akselerasi agar APBD benar-benar menjawab kebutuhan warga, bukan hanya membiayai rutin birokrasi.

Di capaian yang cenderung teknokratis, Wali Kota Lisa mencoba membumikan APBD lewat program 100 hari kerja. Program ini bukan sekadar seremonial, melainkan strategi percepatan agar belanja daerah segera terasa di lapangan.

  1. Pasar Murah Bersubsidi — dibuka 14 Juli 2025 di Lapangan dr. Murdjani, kemudian bergilir ke 20 kelurahan. Sembako disubsidi Rp5.000 per item, gas LPG 3 kg dijual Rp18.500. Lisa menegaskan program ini akan dijadikan agenda rutin, bukan sekadar 100 hari.
  2. Normalisasi Drainase dan Sungai — fokus pada kawasan rawan banjir, memperkuat fungsi infrastruktur dasar kota. Pos ini diharapkan mempercepat serapan belanja modal.
  3. Perbaikan Jalan Kota — seperti Panglima Batur dan RO Ulin. Lisa membedakan tegas kewenangan: jalan nasional tetap ranah pusat, sementara Pemkot fokus pada jalan kota.
  4. Penanganan Rumah Tidak Layak Huni (RTLH) — bantuan bagi keluarga miskin terdampak pembangunan. Program ini mengisi celah belanja sosial yang masih rendah, sembari menegaskan aspek keadilan pembangunan.
  5. Penataan Kabel Semrawut — meski tampak sederhana, penataan kabel menyentuh isu keselamatan dan estetika kota.
  6. Transparansi Pembangunan — dokumentasi visual “sebelum dan sesudah” proyek, sebuah praktik transparansi yang jarang dilakukan daerah lain.

Tiga pesan kuat dari Lisa — mitigasi banjir, penataan drainase kota, dan merapikan kabel udara — memberi sinyal bahwa kepemimpinannya bukan hanya berorientasi pada pembangunan fisik semata, tetapi juga pada ketertiban tata kota dan kenyamanan publik.

Untuk mewujudkan agenda besar itu, Lisa membutuhkan tim kerja yang kuat di Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) teknis. Orang-orang yang tidak sekadar memiliki kemampuan manajerial, tetapi juga ketegasan, kecermatan teknis, dan—yang paling penting—loyalitas untuk melaksanakan perintah wali kota secara konsisten.

Rencana rotasi kepala dinas, yang dimulai dari pelantikan Sekretaris Daerah, menjadi langkah strategis. Memang, cukup wajar jika dalam penyusunan kabinet pasca-pilkada ada nuansa politik. Namun di sinilah Lisa diuji: sejauh mana ia mampu menegakkan meritokrasi sebagai dasar utama.

Jabatan kepala dinas seharusnya tidak jatuh pada mereka yang sekadar dekat secara politik, melainkan pada figur yang terbukti mampu mengeksekusi agenda besar pemerintahan. Dengan meritokrasi, birokrasi Banjarbaru bisa menjadi mesin eksekusi yang efisien, bukan sekadar arena kompromi politik.

Pilihan siapa yang akan ditempatkan memang hak prerogatif wali kota. Tetapi hak itu akan bernilai jika digunakan dengan pertimbangan matang berbasis kompetensi, pengalaman, dan integritas. Bila Lisa konsisten pada prinsip ini, rotasi pejabat bukan sekadar formalitas, melainkan momentum untuk memperkuat birokrasi pembangunan.

Dalam waktu yang relatif singkat, Lisa memperlihatkan sikap kepemimpinan yang berani, transparan, dan berpihak kepada warga kecil. Banjarbaru kini sedang membangun “trust” antara pemerintah dan rakyatnya.

Dan di sinilah letak perbedaan yang penting: di bawah kepemimpinan Walikota Lisa, Banjarbaru tidak lagi sekadar hidup dari “harapan” yang samar, tetapi benar-benar mulai merasakan harapan baru yang nyata. Harapan yang hadir dalam bentuk subsidi pangan di pasar murah, rumah layak huni untuk keluarga miskin, jalan kota yang lebih tertib, hingga wajah kota yang makin manusiawi dengan kabel yang tertata rapi.

Jika konsistensi ini dijaga, bukan mustahil Banjarbaru Emas bukan sekadar slogan, melainkan warisan kepemimpinan Lisa yang akan dikenang: kepemimpinan yang mengubah wacana menjadi kerja, harapan menjadi kenyataan, dan janji politik menjadi kesejahteraan publik.(be)

*sumber data:
https://djpk.kemenkeu.go.id/portal/data/apbd?periode=9&tahun=2025&provinsi=16&pemda=10

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

LAINNYA