BANJARBARUEMAS.COM – Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digulirkan pemerintah pusat kini memasuki tahap kritis: masa evaluasi dan penyempurnaan. Setelah sejumlah daerah dilaporkan mengalami insiden keracunan, perhatian publik tertuju pada bagaimana pemerintah daerah mampu menjaga standar pelaksanaan di lapangan. Di antara banyak daerah, Banjarbaru tampil berbeda. Ibu Kota Provinsi yang tumbuh cepat di Kalimantan Selatan itu menunjukkan bahwa kehati-hatian dan ketelitian justru bisa menjadi kunci keberhasilan sebuah program nasional.
Kamis (16/10/2025), Aula Gawi Sabarataan tampak lebih sibuk dari biasanya. Pemerintah Kota Banjarbaru menerima kunjungan Tim Pemantauan Sekretariat Dukungan Kabinet, Kementerian Sekretariat Negara. Kunjungan ini bagian dari upaya pemerintah pusat untuk menilai langsung bagaimana Program Makan Bergizi Gratis dijalankan di daerah. Dari hasil pemantauan di lapangan, tim akan merumuskan rekomendasi bagi penyusunan Peraturan Presiden (Perpres) tentang MBG yang tengah digodok di Jakarta. Di titik inilah, Banjarbaru dianggap penting—karena kota ini menunjukkan kesiapan tata kelola dan sistem pengawasan yang bisa menjadi rujukan bagi daerah lain.
Beberapa hari sebelumnya, tepatnya Selasa (14/10/2025), Wali Kota Banjarbaru Hj. Erna Lisa Halaby memimpin langsung rapat koordinasi penyelenggaraan program MBG. Rapat itu mempertemukan seluruh unsur penting—Forkopimda, Dinas Kesehatan, Dinas Pendidikan, serta para pengelola Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG). Dalam pertemuan tersebut Wali Kota Lisa menegaskan satu hal: bahwa setiap piring yang disajikan untuk anak-anak Banjarbaru harus aman, bergizi, dan diawasi dengan baik. “Langkah ini kita laksanakan dalam upaya pencegahan dari hal-hal yang tidak diinginkan,” ujarnya.
Dari pertemuan itu lahir sejumlah langkah konkret. Pemerintah kota membentuk Satgas MBG melalui Surat Keputusan Wali Kota, sekaligus menyiapkan rencana inspeksi mendadak ke dapur-dapur penyedia makanan. Bagi Lisa, langkah ini bukan bentuk ketidakpercayaan, melainkan wujud tanggung jawab. “Insya Allah, tidak menutup kemungkinan nanti kami akan menyidak beberapa dapur yang ada di Kota Banjarbaru,” katanya dengan nada tegas. Ia menambahkan, sejauh ini pelaksanaan program di Banjarbaru berjalan lancar tanpa kendala berarti. “Untuk Banjarbaru, tidak ada masalah. Mudah-mudahan ke depan pun tidak akan terjadi apa-apa.”
Langkah antisipatif itu diperkuat oleh data dari Dinas Kesehatan. Kepala Dinas Kesehatan Kota Banjarbaru, dr. Juhai Triyanti Agustina, mengungkapkan bahwa seluruh 21 SPPG di lima kecamatan kini tengah mengajukan Sertifikat Laik Higiene Sanitasi (SLHS)—syarat penting untuk memastikan makanan yang disajikan benar-benar aman. Prosesnya memerlukan waktu karena setiap dapur harus melalui tahapan pemeriksaan sampel makanan dan minuman di laboratorium. Bila hasilnya sesuai standar, sertifikat bisa diterbitkan. Bila belum, dilakukan pembinaan lanjutan.
Selain itu, Dinas Kesehatan juga telah memberikan pelatihan penjamah makanan kepada 500 pekerja dapur—sekitar separuh dari total tenaga yang terlibat dalam program MBG. Pelatihan itu digelar awal Oktober, berfokus pada cara menjaga kebersihan alat, penyimpanan bahan, hingga standar pemasakan. “Pelatihan ini penting agar pengelola dapur paham standar keamanan makanan. Jangan sampai terjadi kasus seperti di daerah tetangga,” kata dr. Juhai. Ia menambahkan, para pekerja dapur juga menjalani pemeriksaan kesehatan berkala. “Menjaga keamanan makanan dimulai dari tubuh yang sehat.”
Dari sisi pendidikan, Dinas Pendidikan Kota Banjarbaru menyiapkan sistem pengawasan cepat tanggap di sekolah-sekolah. Kepala Dinas Pendidikan Dedy Soetoyo menjelaskan bahwa pihaknya membentuk grup komunikasi daring yang berfungsi sebagai jalur pelaporan cepat bila ada makanan yang tidak layak konsumsi. “Begitu ada laporan, langsung kami instruksikan untuk tidak dibagikan. Kami ingin tindakan cepat, sebelum masalah meluas,” katanya.
Sementara di hilir, upaya memperkuat pasokan pangan lokal juga dilakukan. Di Kecamatan Cempaka, terbentuk Brigade Pangan—sebuah kelompok petani muda dan senior yang dibimbing penyuluh pertanian untuk memperkuat produksi padi dan bahan pangan lokal. Para anggota Brigade Pangan dilatih mengelola lahan, mengoperasikan alat pertanian, hingga memahami siklus tanam yang efisien. “Kami ingin mereka menjadi ujung tombak ketahanan pangan Banjarbaru,” ujar penyuluh Tino Lukman Hidayat. Baginya, program MBG bukan hanya soal memberi makan, tetapi juga membuka ruang partisipasi petani lokal dalam rantai pasok pangan yang sehat dan mandiri.
Di tingkat nasional, Presiden Prabowo Subianto melalui Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi menegaskan bahwa keselamatan anak-anak harus menjadi prioritas utama program MBG. Dalam rapat terbatas akhir September lalu, pemerintah pusat menetapkan enam langkah penguatan tata kelola, mulai dari evaluasi terhadap dapur bermasalah hingga kewajiban setiap SPPG memiliki SLHS. Mensesneg bahkan menyebut bahwa Presiden memberikan arahan yang sangat rinci, terutama soal kebersihan dan kedisiplinan prosedur.
Langkah-langkah itu sejalan dengan kebijakan yang lebih dulu diambil Banjarbaru. Di saat banyak daerah baru menata ulang sistemnya, Banjarbaru sudah melangkah lebih cepat. Kota ini menjadi cerminan bahwa pelaksanaan program nasional yang kompleks bisa berjalan efektif jika dilandasi koordinasi, pengetahuan, dan kepemimpinan yang sigap.
Upaya yang dilakukan Banjarbaru memberi pelajaran penting: bahwa keberhasilan sebuah program bukan hanya ditentukan oleh anggaran atau regulasi, tetapi oleh kesiapan institusi di daerah untuk menerjemahkan kebijakan dengan rasa tanggung jawab.
Dengan tata kelola yang hati-hati dan sistem yang terukur, Banjarbaru memperlihatkan bahwa program sosial nasional dapat berjalan dengan standar keamanan tinggi tanpa kehilangan kedekatan sosialnya. Program MBG di Banjarbaru, setiap piring yang disajikan bukan hanya berisi makanan, tetapi juga mencerminkan cara sebuah pemerintahan bekerja: teliti, tanggap, dan berpihak pada warganya.(be)
148
Tidak ada komentar