BANJARBARUEMAS.COM – Saya masih bisa merasakan denyut halus di dada saat menyaksikan momen itu—sebuah pertemuan yang begitu sederhana, tapi sarat makna, di depan lobi tempat berlangsungnya acara silaturahmi ke-3 Wali Kota Banjarbaru, Hj. Erna Lisa Halaby, di wilayah Cempaka. Tak ada musik latar, tak ada kamera yang menyorot dengan megah. Hanya ada sapaan lembut seorang pemimpin daerah kepada seorang ulama sepuh yang menjadi cahaya rohani bagi masyarakat Banjarbaru: Tuan Guru H.M. Zarkasyi, Pengasuh Majelis Taklim Nurul Hasanah.
Peristiwa itu terjadi di penghujung acara. Saat sebagian tamu mulai meninggalkan tempat, Wali Kota Lisa tampak melangkah perlahan mendekati Tuan Guru. Dengan penuh hormat, beliau menunduk, menyalami tangan sang guru, dan berpamitan dengan kalimat lembut yang nyaris bergetar oleh rasa takzim. Dalam sekejap, suasana yang semula ramai mendadak hening—seolah seluruh semesta pun ikut menunduk menyaksikan ketulusan itu.
Saya berdiri sangat dekat. Begitu dekat hingga bisa mendengar langsung suara lembut Lisa menanyakan kabar sang guru, “Gimana kabarnya, Guru? Pian sehat? Apa sudah ada yang jemput? Mohon doanya, Guru.” Kalimat itu terdengar begitu tulus, mengalir dari hati yang tidak sedang berperan. Saat itu, saya justru merasa kaku karena rasa haru. Seolah menyaksikan potongan sejarah yang tak akan terulang: seorang umaroh yang menundukkan egonya di hadapan ulama, bukan karena jabatan, tapi karena cinta dan adab.
Entah kenapa, di tengah momen yang begitu indah itu, saya tak kuasa mengangkat ponsel untuk mengambil foto. Jari-jari seperti kehilangan tenaga. Saya hanya terperangah, terpaku oleh rasa takjub yang menjalari seluruh tubuh. Ada getar lembut di dada, seakan hati saya sedang berkata, “Inilah momen yang tidak perlu diabadikan oleh kamera, karena telah diabadikan oleh jiwa.” Saya sadar, kadang keindahan sejati justru terlalu suci untuk dibingkai oleh lensa.
Saya ingat betul, setahun lalu, Juli 2024, menjelang pendaftaran Pilkada Banjarbaru 2024, saya juga melihat pertemuan pertama mereka. Waktu itu, saya berpikir sinis—menyangka silaturahmi itu hanyalah manuver politik. Namun ternyata, apa yang saya lihat hari ini membungkam prasangka itu. Hubungan mereka bukan hubungan pencitraan, tapi persaudaraan ruhani yang telah bersemi menjadi teladan bagi kita semua.
Dalam Islam, mencintai seseorang karena Allah berarti menasihatinya dalam kebaikan, bukan menyanjung tanpa arah. “YANG MENCINTAIMU AKAN MENASEHATIMU,” demikian sebuah hikmah yang mengakar dalam tradisi keilmuan Islam. Nabi Muhammad ﷺ bersabda, “Agama adalah nasehat.” (HR. Muslim). Nasehat adalah bentuk cinta tertinggi, karena di dalamnya ada keinginan agar orang lain menjadi baik, bukan kalah.
Kedekatan antara Wali Kota Lisa dan Guru Zarkasyi adalah simbol dari nasihat yang hidup. Ia bukan sekadar dialog antara penguasa dan ulama, melainkan cermin dari relasi ideal antara “ulil amri” dan “ulama”—dua pilar yang menjaga keseimbangan moral dalam kehidupan umat. Di hadapan saya, dua sosok itu saling menunduk dengan penuh penghormatan. Tak ada garis pemisah antara dunia kekuasaan dan dunia dakwah; yang ada hanyalah jembatan kasih dan doa.
Imam Nawawi dalam Riyadhus Shalihin menulis, “Menasehati sesama muslim berarti menunjuki berbagai maslahat bagi mereka, dalam urusan dunia dan akhiratnya.” Maka, ketika Lisa memohon doa dari Tuan Guru, itu bukan formalitas. Itu adalah bentuk pengakuan bahwa kekuasaan tanpa restu dan nasihat ulama akan kehilangan arah spiritualnya. Ia sedang menjemput keberkahan.
Saya pulang dari acara itu dengan dada bergetar. Ada rasa bersalah yang samar, karena dulu saya meragukan ketulusan itu. Tapi hari ini, saya menyaksikan sendiri bagaimana cinta yang berakar dari iman tak memerlukan panggung besar. Ia cukup hidup dalam sapaan lembut dan doa yang tulus.
Banjarbaru hari ini sedang membangun jembatan hati. Dan di jembatan itulah, Wali Kota Lisa Halaby dan Tuan Guru Zarkasyi telah memberi teladan: bahwa kekuasaan sejati adalah kekuasaan yang mau mendengar, dan kebijaksanaan sejati lahir dari hati yang mau dinasihati.
Semoga Banjarbaru terus tumbuh dalam bimbingan doa para ulama dan ketulusan pemimpinnya. Karena seperti kata Al Hasan Al Bashri, “Sesungguhnya hamba yang paling dicintai Allah adalah mereka yang membuat manusia mencintai Allah, dan mencintai sesama karena Allah.”
Maka, dari pertemuan yang sederhana itu, saya belajar satu hal: bahwa di balik setiap salam pemimpin yang tulus, ada secercah cahaya kasih yang bisa menerangi sebuah kota. (be)
288
Tidak ada komentar