Ketika Lisa Memeluk Sahla: Banjarbaru Belajar dari Air Mata dan Empati

waktu baca 4 menit
Sabtu, 4 Okt 2025 00:37 779 Banjarbaru Emas

Ada pemimpin yang hadir hanya di podium. Ada pula yang hadir di hati rakyatnya. Malam di Kampung Baru, Landasan Ulin Utara, menjadi saksi: Banjarbaru sedang memiliki pemimpin yang memilih jalan kedua. Hj. Erna Lisa Halaby, Wali Kota Banjarbaru, bukan saja menyalami dan menyapa, tetapi juga menundukkan hati—menjadi bagian dari duka dan harapan warganya.

Kisah itu mengalir ketika seorang pendamping sosial, Ali, berkisah tentang Muhammad Sahla Taufiq—anak kecil penderita jantung bocor yang harus berjuang di Jakarta. Ali terperanjat saat mendengar Wali Kota tidak hanya peduli dari jauh, melainkan benar-benar hadir. Ia bukan sekadar memberi bantuan, tetapi hadir menggendong Sahla, mendekapnya, memberi semangat dengan kelembutan seorang ibu.

Bayangkan, dini hari pukul tiga, seorang kepala daerah mengetuk pintu rumah sakit jantung di Jakarta. Aturan jam besuk nyaris menghalangi, satpam sempat ragu, lift rumah sakit penuh sesak—namun langkah itu tak surut. Karena ini bukan sekadar kunjungan, melainkan panggilan hati. Seorang pemimpin yang rela menukar waktu tidurnya demi menguatkan seorang anak yang takut menjalani operasi.

Di hadapan ratusan warga yang hadir pada acara ekspose 100 hari kepemimpinannya, Wali Kota Banjarbaru Hj. Erna Lisa Halaby menuturkan sebuah kisah yang membuat suasana hening seketika. Dengan suara bergetar, ia menceritakan pengalamannya menemui ananda Sahla Taufiq, bocah kecil penderita jantung bocor yang harus dirawat di Jakarta.

Jalan menemui Sahla tidak mudah. Dirinya harus ikut berdesakan menaiki lift rumah sakit yang penuh antrian keluarga pasien. Namun langkahnya tidak surut. Sesampainya di lantai perawatan, ia mendapati seorang nenek sudah menunggu sambil menggendong Sahla.

Begitu melihat Bu Wali, mata Sahla langsung berbinar. Dengan tangan kecilnya, ia meminta untuk dirangkul. “Sahla langsung minta saya gendong,” kenang Lisa. Tanpa ragu ia meraih tubuh mungil itu dan memeluknya erat. “Rasanya seperti memeluk anak sendiri,” tambahnya.

Dalam pelukan itu, Sahla semakin lekat, seakan enggan dilepaskan. Ia bahkan meminta Bu Wali menemaninya lebih lama. Hampir setengah jam Bu Wali duduk sambil menggendongnya, membisikkan semangat agar tidak takut menjalani operasi. Tawa kecil Sahla pun mulai terdengar di koridor rumah sakit. Ketika neneknya hendak menggendong kembali, ia menolak, ingin terus berada dalam dekapan Bu Wali.
“Saya sampaikan bahwa saya akan kembali menjenguk. Sahla lalu sangat ceria,” ucap Lisa.

Ia sempat menanyakan makanan dan minuman yang diinginkan Sahla, lalu memberinya bingkisan kecil. Senyum polos anak itu pun merekah, menerima dengan gembira. Saat ia berpamitan, tindakan medis belum dilakukan. Namun tak lama setelah kembali ke Banjarbaru, kabar baik datang – Ananda Sahla akhirnya menjalani operasi yang diperlukan. Lisa mengenang peristiwa itu sambil menahan air mata di hadapan warga.

Bagi warga yang hadir dan mendengar kisah ini, mungkin hanya butuh beberapa menit untuk membasahi mata. Karena sesungguhnya, apa yang terjadi bukan sekadar kunjungan seorang Wali Kota. Itu adalah doa yang menjelma tindakan. Itu adalah keikhlasan yang menemukan jalannya. Itu adalah cinta seorang pemimpin pada warganya.

Apa yang dilakukan Lisa jauh lebih berharga daripada sekadar memberi bantuan materi. Inilah wujud kepemimpinan yang berempati—pemimpin yang hadir dengan hati. Dari empati itulah lahir kekuatan yang mampu menggerakkan banyak orang. Saat hati warga tersentuh, maka muncullah energi sosial berupa kepercayaan dan doa bersama. Bagi Banjarbaru, energi itu adalah kepercayaan dan doa warga—modal yang tak ternilai dalam membangun kota.

Sejarah mencatat, kota-kota yang maju bukan hanya karena gedung tinggi atau jalan mulus, tetapi karena pemimpin dan warganya saling percaya. Apa yang dilakukan Lisa adalah menanamkan benih itu: kepercayaan yang tumbuh dari ketulusan.

Kita, warga Banjarbaru, semestinya merenungkan: bukankah kota ini akan lebih kuat jika setiap program, setiap kebijakan, lahir dari kepekaan yang sama? Bukankah pembangunan yang sejati adalah pembangunan yang berakar pada wajah-wajah warga, terutama mereka yang lemah dan membutuhkan uluran tangan?

Malam itu, silaturahmi pasca 100 hari kerja pemerintahan Lisa-Wartono bukan hanya sekedar ekpose pencapaian pembangunan yang sudab dikerjakan. Ia menjelma menjadi pesan moral: bahwa seorang pemimpin sejati bukan hanya berdiri di depan, tapi juga berjalan di samping—bahkan duduk di lantai rumah sakit, memeluk anak kecil dengan senyum dan air mata.

Dan kita, sebagai warganya, dipanggil untuk meneladani: memperkuat tali silaturahmi, saling menolong, hadir bagi sesama, seperti pemimpin kita hadir bagi Sahla. Karena sebuah kota tidak akan benar-benar tumbuh hanya dengan anggaran dan bangunan. Kota menjadi hidup ketika hati pemimpin dan warganya saling terhubung, saling percaya, dan saling menguatkan. Dari sanalah lahir kekuatan yang mampu menjaga dan membesarkan Banjarbaru.

Banjarbaru sedang menulis sejarah baru. Sejarah kepemimpinan yang lembut, empatik, namun tegas. Sejarah bahwa kota ini bisa maju tanpa kehilangan kehangatan manusianya.

Dan di tengah perjalanan menuju “Banjarbaru Emas”, kisah ini akan dikenang: tentang seorang anak bernama Sahla, tentang seorang nenek yang setia, tentang seorang wali kota yang menggendong dengan kasih. Bahwa di balik kebijakan, ada cinta. Di balik program, ada air mata. Di balik pembangunan, ada hati yang tak pernah lelah mencintai warganya.

1 Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

    SUMADI. LPM. K. LUB
    1 minggu  lalu

    SEMOGA WALIKOTA BANJARBARU IBU Hj. ERNA LISA HALABY selalu di beri kesehatan, kekuatan dan kemudahan segala urusan dalam menjalankan pemerintahan tegasnya 👍

    Balas
LAINNYA